SJ-13-0108 : Mengumpat perkara kebaikan orang lain

Primary tabs

3 posts / 0 new
Last post
Anonymous (not verified)
SJ-13-0108 : Mengumpat perkara kebaikan orang lain

:bismillah

:salam ustaz panelis Al-Ahkam serta sahabat2 lain..

Saya cuba cek archieve di Al-Ahkam tetapi tidak berjumpa lagi jawapan kepada persoalan ini iaitu adakah memperkatakan mengenai kebaikan seseorang itu dikira sebagai mengumpat?

Kita bermula dari, apakah maksud mengumpat (ghibah) itu? Adakah memperkatakan sesuatu keburukan orang lain di belakangnya atau memperkatakan sesuatu yang tidak disukainya?

Jika mengikut definasi kedua, ada sesetengah orang tidak suka kebaikannya diperkata, jadi adakah ini dikira mengumpat?

Diharap agar dapat diberikan penjelasan. Terima kasih. Jazakumullahukhaer. :P

SJ-13-0108 : Mengumpat perkara kebaikan orang lain

:salam

saya lampirkan pendpt al-Qaradhawi dari kitab halal dan haram dalam islam...

4.4.2.6 Ghibah (Mengumpat)

Keenam: Kita dilarang ghibah (mengumpat). Seperti firman Allah:

"Dan jangan sebagian kamu mengumpat sebagiannya." (al-Hujurat: 12)

Rasulullah s.a.w. berkehendak akan mempertajam pengertian ayat tersebut kepada sahabat-sahabatnya yang dimulai dengan cara tanya-jawab, sebagaimana tersebut di bawah ini:

"Bertanyalah Nabi kepada mereka: Tahukah kamu apakah yang disebut ghibah itu? Mereka menjawab: Allah dan RasulNya yang lebih tahu. Maka jawab Nabi, yaitu: Kamu membicarakan saudaramu tentang sesuatu yang ia tidak menyukainya. Kemudian Nabi ditanya: Bagaimana jika pada saudaraku itu terdapat apa yang saya katakan tadi? Rasulullah s.a.w. menjawab: Jika padanya terdapat apa yang kamu bicarakan itu, maka berarti kamu mengumpat dia, dan jika tidak seperti apa yang kamu bicarakan itu, maka berarti kamu telah menuduh dia." (Riwayat Muslim, Abu Daud, Tarmizi dan Nasa'i)

Manusia tidak suka kalau bentuknya, perangainya, nasabnya dan ciri-cirinya itu dibicarakan. Seperti tersebut dalam hadis berikut ini:

"Dari Aisyah ia berkata: saya pernah berkata kepada Nabi: kiranya engkau cukup (puas) dengan Shafiyah begini dan begini, yakni dia itu pendek, maka jawab Nabi: Sungguh engkau telah berkata suatu perkataan yang andaikata engkau campur dengan air laut niscaya akan bercampur." (Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan Baihaqi)

Ghibah adalah keinginan untuk menghancurkan orang, suatu keinginan untuk menodai harga diri, kemuliaan dan kehormatan orang lain, sedang mereka itu tidak ada di hadapannya. Ini menunjukkan kelicikannya, sebab sama dengan menusuk dari belakang. Sikap semacam ini salah satu bentuk daripada penghancuran. Sebab pengumpatan ini berarti melawan orang yang tidak berdaya.

Ghibah disebut juga suatu ajakan merusak, sebab sedikit sekali orang yang lidahnya dapat selamat dari cela dan cerca.

Oleh karena itu tidak mengherankan, apabila al-Quran melukiskannya dalam bentuk tersendiri yang cukup dapat menggetarkan hati dan menumbuhkan perasaan.

Firman Allah:

"Dan jangan sebagian kamu mengumpat sebagiannya; apakah salah seorang di antara kamu suka makan daging bangkai saudaranya padahal mereka tidak menyukainya?!" (al-Hujurat: 12)

Setiap manusia pasti tidak suka makan daging manusia.

Maka bagaimana lagi kalau daging saudaranya? Dan bagaimana lagi kalau daging itu telah menjadi bangkai?

Nabi memperoleh pelukisan al-Quran ini ke dalam fikiran dan mendasar di dalam hati setiap ada kesempatan untuk itu.

Ibnu Mas'ud pernah berkata:

"Kami pernah berada di tempat Nabi s.a.w., tiba-tiba ada seorang laki-laki berdiri meninggalkan majlis, kemudian ada seorang laki-laki lain mengumpatnya sesudah dia tidak ada, maka kata Nabi kepada laki-laki ini: Berselilitlah kamu! Orang tersebut bertanya: Mengapa saya harus berselilit sedangkan saya tidak makan daging? Maka kata Nabi: Sesungguhnya engkau telah makan daging saudaramu." (Riwayat Thabarani dan rawi-rawinya rawi-rawi Bukhari)

Dan diriwayatkan pule oleh Jabir, ia berkata:

"Kami pernah di tempat Nabi s.a.w. kemudian menghembuslah angin berbau busuk. Lalu bertanyalah Nabi: Tahukah kamu angin apa ini? Ini adalah angin (bau) nya orang-orang yang mengumpat arang-orang mu'min." (Riwayat Ahmad dan rawi-rawinya kepercayaan)

4.4.2.6.1 Batas Perkenan Ghibah

Seluruh nas ini menunjukkan kesucian kehormatan pribadi manusia dalam Islam. Akan tetapi ada beberapa hal yang oleh ulama-ulama Islam dikecualikan, tidak termasuk ghibah yang diharamkan. Tetapi hanya berlaku di saat darurat.

Diantara yang dikecualikan, yaitu seorang yang dianiaya melaporkan halnya orang yang menganiaya, kemudian dia menyebutkan kejahatan yang dilakukannya. Dalam hal ini Islam memberikan rukhshah untuk mengadukannya.

Firman Allah:

"Allah tidak suka kepada perkataan jelek yang diperdengarkan, kecuali (dari) orang yang teraniaya, dan adalah Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui." (an-Nisa': 148)

Kadang-kadang ada seseorang bertanya tentang pribadi orang lain karena ada maksud mengadakan hubungan dagang, atau akan mengawinkan anak gadisnya atau untuk menyerahkan suatu urusan yang sangat penting kepadanya.

Di sini ada suatu kontradiksi antara suatu keharusan untuk mengikhlaskan diri kepada agama, dan kewajiban melindungi kehormatan orang yang tidak di hadapannya. Akan tetapi kewajiban pertama justru lebih penting dan suci. Untuk itu kewajiban pertama harus didahulukan daripada kewajiban kedua.

Dalam sebuah kisah dituturkan, bahwa Fatimah binti Qais pernah menyampaikan kepada Nabi tentang maksud dua orang yang akan meminangnya. Maka jawab Nabi kepadanya: "Sesungguhnya dia (yang pertama) sangat miskin tidak mempunyai uang, dan Nabi menerangkan tentang yang kedua, bahwa dia itu tidak mau meletakkan tongkatnya dari pundaknya, yakni: dia sering memukul perempuan."

Dan termasuk yang dikecualikan juga yaitu: karena bertanya, minta tolong untuk mengubah suatu kemungkaran terhadap seseorang yang mempunyai nama, gelar atau sifat yang tidak baik tetapi dia hanya dikenal dengan nama-nama tersebut. Misalnya: A'raj (pincang), A'masy (rabun) dan anak si Anu.

Termasuk yang dikecualikan juga, yaitu menerangkan cacatnya saksi dan rawi-rawi hadis.32

Definisi umum tentang bentuk-bentuk pengecualian ini ada dua:

1. Karena ada suatu kepentingan.
2. Karena suatu niat.

4.4.2.6.1.1 Karena suatu kepentingan

Jadi kalau tidak ada kepentingan yang mengharuskan membicarakan seorang yang tidak hadir dengan sesuatu yang tidak disukainya, maka tidak boleh memasuki daerah larangan ini. Dan jika kepentingan itu dapat ditempuh dengan sindiran, maka tidak boleh berterang-terangan atau menyampaikan secara terbuka. Dalam hal ini tidak boleh memakai takhshish (pengecualian) tersebut.

Misalnya seorang yang sedang minta pendapat apabila memungkinkan untuk mengatakan: "bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berbuat begini dan begini," maka dia tidak boleh mengatakan: "bagaimana pendapatmu tentang si Anu bin si Anu."

Semua ini dengan syarat tidak akan membicarakan sesuatu di luar apa yang ada. Kalau tidak, berarti suatu dosa dan haram.

4.4.2.6.1.2 Karena suatu niat

Adanya suatu niat di balik ini semua, merupakan suatu pemisahan. Sebab pribadi manusia itu sendiri yang lebih mengetahui dorongan hatinya daripada orang lain. Maka niatlah yang dapat membedakan antara perbuatan zalim dan mengobati, antara minta pendapat dengan menyiar-nyiarkan, antara ghibah dengan mengoreksi dan antara nasehat dengan memasyhurkan. Sedang seorang mu'min, seperti dikatakan oleh suatu pendapat, adalah yang lebih berhak untuk melindungi dirinya daripada raja yang kejam dan kawan yang bakhil.

Hukum Islam menetapkan, bahwa seorang pendengar adalah rekan pengumpat. Oleh karena itu dia harus menolong saudaranya yang di umpat itu dan berkewajiban menjauhkannya. Seperti yang diungkapkan oleh hadis Rasulullah sa,w.:

"Barangsiapa menjauhkan seseorang dari mengumpat diri saudaranya, maka adalah suatu kepastian dari Allah, bahwa Allah akan membebaskan dia dari Neraka." (Riwayat Ahmad dengan sanad hasan)
"Barangsiapa menghalang-halangi seseorang dari mengumpat harga diri saudaranya, maka Allah akan menghalang-halangi dirinya dari api neraka, kelak di hari kiamat." (Riwayat Tarmizi dengan sanad hasan)

Barangsiapa tidak mempunyai keinginan ini dan tidak mampu menghalang-halangi mulut-mulut yang suka menyerang kehormatan saudaranya itu, maka kewajiban yang paling minim, yaitu dia harus meninggalkan tempat tersebut dan membelokkan kaum tersebut, sehingga mereka masuk ke dalam pembicaraan lain. Kalau tidak, maka yang tepat dia dapat dikategorikan dengan firman Allah:

"Sesungguhnya kamu, kalau demikian adalah sama dengan mereka" (an-Nisa': 140)

http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/40426.html#4.4.2.6

SJ-13-0108 : Mengumpat perkara kebaikan orang lain

Assalamu'alaikum

Alhamdulillah. Terima kasih Ustaz g@y@t yang telah memaparkan definasi Ghibah dari Kitab Halal wa Haram karangan Syeikh Dr Yusuf Al-Qaradhawi. Syiekh al-Qaradhawi menyatakan bahawa ghibah/mengumpat tidak lain adalah kehendak menjatuhkan seseorang, menjatuhkan maruahnya dan menunggang kejayaan orang lain semasa tidak kehadirannya. Kata beliau lagi, ini adalah penyataan sikap fikiran yang semoit dan penakut. Ghibah adalah perbuatan negatif dan ia merupakan alat pemusnah.

Syiekh al-Qaradhawi juga mengemukan bahawa dibenarkan melakukan ghibah dengan 2 syarat :
1. Keperluan - terdapatnya keperluan yang penting
2. Niat - niat untuk kebaikkan

Contoh2 situasinya :-

1. Aduan mengenai ketidak adilan dan kezaliman.

2. Mencari bantuan bagi menukar sesuatu kemungkaran. Biasanya kaedah bercerita ialah tidak merujuk kepada orang tersebut dengan tepat.

3. Bagi mendapatkan fatwa baru. Cara yang sama, identiti orang tersebut tidak didedahkan, maka Mufti akan memberi fatwa atas apa yang diadukan.

4. Memberi amaran kepada orang Islam yang lain mengenai kejahatan seseorang yang boleh mengancam masyarakat.
--------------

Dari apa yang anda ceritakan, tidaklah kami rasakan perkara tersebut merupakan ghibah, malah ia merupakan pujian. Akan tetapi, tujuan memuji itu bukan untuk menimbulkan keburukan dan bahaya kepada orang tersebut. Mengenai pujian, bekas Professor Syariah dari Universiti Kaherah, Dr Rif'at Fawzi berkata :

"Perhubungan diantara Islam hendaklah diasaskan pada kebenaran dan keikhlasan. Tidak ada salahnya didalam Islam seseorang Islam memuji rakan Muslim yang lain selama-mana tidak wujudnya agenda yang tersorok yang boleh menjejaskan orang lain atau menyebabkan keburukan kepadanya.

Apabila seseorang Islam memuji seorang Islam yang lain, ia hendaklah semata kerana ALLAH dan bukan bertujuan mengkagumi dan perkhidmatan lidah semata2. Perkataan yang diucapkan hendaklah bayangan yang benar apa yang tersirat didalam"

Kesimpulannya, seorang Islam dibenarkan memuji saudaranya, asalkan ia bertujuan kerana Allah swt dan bukan bersifat orang munafiq iaitu lain di hati, lain dilidah. :aklam

wassalam
---------
Rujukan

1. Dr. Rif'at Fawzi. Flattering the Boss URL : http://www.islamonline.net/fatwa/english/FatwaDisplay.asp?hFatwaID=113589

خيرالأمين